Pertanyaan
Alhamdulillah.
Lebih baik kami sebutkan dahulu redaksi
kedua hadits tersebut, kemudian kami jelaskan bagaiana mengkompromikan
keduanya;
Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma dia berkata,
وَقَّتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ وَلِأَهْلِ
الشَّأْمِ الْجُحْفَةَ وَلِأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنَ الْمَنَازِلِ وَلِأَهْلِ
الْيَمَنِ يَلَمْلَمَ ، فَهُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ
غَيْرِ أَهْلِهِنَّ لِمَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ ، فَمَنْ
كَانَ دُونَهُنَّ فَمُهَلُّهُ مِنْ أَهْلِهِ ، وَكَذَاكَ حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ
يُهِلُّونَ مِنْهَا (متفق عليه)
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menetapkan
Dzul Hulaifah sebagai miqat bagi penduduk Madinah, Juhfah bagi penduduk
Syam, Qarnal Manazil bagi penduduk Najed, Yalamlam sebagai penduduk Yaman.
Tempat-tempat itu (adalah miqat) bagi mereka (penduduk negeri-negeri
tersebut) dan siapa saja yang datang lewat jalur tersebut, jika dia niat
haji atau umrah. Adapun orang yang
berada di dalamnya (di dalam wilayah miqat), maka (dia ihram) dari tempat
dia berada. Termasuk penduduk Mekah, (ihram)
dari Mekah.” (HR. Bukhari, no. 1524, Muslim, no. 1181)
Dari Aisyah radhiallahu anha dia berkata,
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata, ‘Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam singgah di Muhashshib (nama sebuah tempat) Maka
beliau memanggil Abdurrahman bin Abu Bakar, lalu berkata, “Pergilah bersama
saudaramu (dalam riwayat lain; ke Tan’im), agar dia ihram umrah (dari sana)
kemudian thawaf (dan sai) di Baitullah. Aku menunggu kalian berdua di sini.”
Aisyah berkata, ” Maka kami berangkat, lalu aku niat ihram, kemudian aku
thawaf dan sai. Lalu kami mendatangi tempat Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam berada di tengah malam, lalu dia berkata, “Apakah kamu sudah selesai
(umrah)?” Aku katakan, “Ya.” Maka
beliau mengumumkan kepada para shahabatnya untuk berangkat. Lalu beliau
lewat Baitullah, kemudian thawaf sebelum shalat Fajar, kemudian kami kembali
ke Madinah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka, dengan ini dikatakan bahwa hadits
Ibnu Abbas radhiallahuma bersifat umum, bahwa penduduk Mekah ihram dari
Mekah untuk haji saja sebagai haji ifrad atau untuk haji dan umrah sebagai
haji qiran. Sedangkan hadits tentang keluarnya
Aisyah dari tanah haram bersama saudaranya untuk ihram di Tan’im berdasarkan
perintah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, merupakan petunjuk khusus.
Kaidah yang telah dikenal dan diterima para ulama adalah bahwa jika petunjuk
umum dan khusus bertentangan, maka petunjuk umum dipahami secara khusus,
sehingga yang dipakai adalah yang khusus. Di sini kesimpulannya adalah bahwa
ihram umrah (bagi penduduk Mekah atau yang berada di sana) hendaknya di
Tan’im atau di tempat lainnya di tanah halal. Maka makna ungkapan, “Penduduk
Mekah ihram di Mekah” adalah bahwa “Penduduk Mekah jika mereka hendak ihram
haji saja atau haji dan umrah sekaligus, tidak perlu pergi ke tanah halal
atau ke salah satu miqat yang disebutkan dalam sebuah hadits agar mereka
ihram dari sana.
Adapun jika melakukan umrah saja, maka bagi siapa yang hendak
ihram dari Mekah atau di dalam wilayah tanah haram, dia harus keluar ke
tanah halal –Tan’im atau selainnya- agar mereka ihram dari sana. Inilah
pendapat jumhur ulama. Bahkan Al-Muhibb Ath-Thabari berkata, “Saya tidak
tahu ada seorang pun yang menjadikan Mekah sebagai miqat untuk umrah.”
Maka ucapan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam
hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, “Penduduk Mekah ihram dari Mekah.”
Hanya berlaku untuk haji qiran dan ifrad, bukan untuk orang yang melakukan
umrah saja.
Hal ini dikuatkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam
apabila dipilihkan kepadanya dua perkara, niscaya dia akan memilih yang
paling ringan selama hal itu bukan perkara dosa. Seandainya ihram untuk
umrah saja dari tanah haram diizinkan, niscaya beliau akan memilihkannya
untuk Aisyah, karena dia yang lebih mudah dan lebih sedikit bebannya baik
bagi dirinya, Aisyah maupun saudaranya, maka tidak akan memerintahkannya
untuk keuar ke tanah halal atau ke Tan’im untuk ihram dari sana. Maka,
ketika dia tidak menjadikan tanah haram sebagai tempat ihram (untuk umrah),
padahal hal itu lebih mudah bagi semuanya dibanding ihram di tanah halal
yang lebih berat dibanding yang pertama, maka hal itu merupakan dalil bahwa
ihram untuk umrah di tanah halal dan bukan di tanah haram memang ditujukan
sebagai perintah secara syari bagi siapa yang ingin umrah secara tersendiri
apabila dia berada di tanah haram.” Wabillahittaufiq.
Lihat Al-Lajnah Ad-Daimah, 11/143.