Pertanyaan
Alhamdulillah.
Allah Ta’ala mewajibkan
banyak hal kepada seorang lelaki jika dia berkehendak untuk menikah lebih
banyak dari satu orang istri sebelum dia beranjak untuk menikahi istri
kedua. Diantaranya adalah, “Kemampuan untuk berbuat adil dalam memberikan
nafkah, menggilir dalam menginap dan menyediakan tempat tinggal. Apabila dia
mengetahui bahwa dirinya tidak memiliki kemampuan atau dia memperkirakan
bahwa dia tidak mampu untuk yang demikian, maka tidak halal baginya untuk
menikah lebih dari seorang istri.
Allah Ta’ala berfirman :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا
مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ
أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى
أَلا تَعُولُوا. (سورة النساء: 3)
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja,
atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An Nisaa: 3)
Mujahid berkata, “Janganlah kalian menyengaja dalam melakukan
keburukan, akan tetapi konsistenlah pada kesetaraan baik dalam pembagian dan
memberikan nafkah, karena sesungguhnya hal inilah sesuatu yang dituntut
harus bisa dipenuhi.” (Tafsir Al Qurthubi, 5/407)
Shaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Adapun berlaku adil
dalam hal nafkah dan memberikan pakaian merupakan sunnah juga karena
mengikuti Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, bahwa dahulu beliau berlaku adil
terhadap istri-istri beliau dalam hal nafkah sebagaimana beliau berbuat adil
dalam hal giliran.” (Majmu fatawa, 32/269)
Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata, “Dahulu Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wa Sallam adil dalam menggilir di antara istri-istri
beliau baik dalam hal menginap, memenuhi kebutuhan tempat tinggal maupun
nafkah, dan tidak wajib menyamakan dalam hal kecintaan dan hubungan suami
istri karena yang demikian itu termasuk sesuatu yang di luar kemampuan
beliau.” (Zaadul Ma’aad, 1/151)
Al Hafiz Ibnu Hajar berkata, “Dan jika seorang suami telah
memenuhi semua kebutuhan satu-persatu dari istri-istrinya baik itu sandang,
papan dan nafkahnya, maka tidak masalah apabila ada sedikit kecenderungan
perasaan hati kepada salah satu dari mereka (baik berupa cinta atau
hadiah).” (Fathul Bari, 9/391)
Inilah yang telah diwajibkan oleh Allah Ta’ala terhadap suami
yang ingin menikah lebih dari satu. Jika seorang suami mampu memenuhi itu
semua maka -pada dasarnya- tidak ada salahnya kalau memang hendak
mengajukan pernikahan. Akan tetapi jika tidak bisa memenuhi sebagaimana yang
disebutkan, maka kami tidak merekomendasi untuk itu, bahkan sama sekali
tidak boleh.
Adapun ungkapan anda bahwa dia tidak mampu untuk mencukupi
dua istri, jika memang lelaki tersebut memiliki agama dan akhlak yang baik
dan anda merasa bahwa anda mampu bersabar dengan hidup yang pas-pasan dan
menanggung beban tersebut maka tidak ada salahnya anda menerima menikah
dengannya.
Allah Ta’ala telah menjanjikan kekayaan kepada lelaki faqir
yang berkeinginan untuk menikah dalam firman-Nya,
إن
يكونوا فقراء يغنهم الله من فضله (سورة النور: 32)
“Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya.” (QS. An Nuur: 32)
Sehingga dahulu sebagian dari para salafus shalih menikah
dengan tujuan supaya mendapat rizki sebagai bentuk aplikatif ayat tersebut.
Akan tetapi jika anda merasa bahwa anda tidak mampu bersabar dengan hidup
yang pas-pasan dan menanggung beban tersebut maka tidak ada salahnya anda
menolak menikah dengannya. Karena Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam telah
mengisyaratkan yang demikian dalam kasus shahabiyah Fathimah binti Qais
ketika Mu’awiyah Radliyallahu Anhu meminangnya, Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam melarangnya agar tidak menikah dengan Mu’awiyah dengan sabda
beliau:
إنه
صعلوك لا مال له
(رواه
مسلم، رقم 1480)
“Sesungguhnya dia adalah seorang yang sangat miskin yang
tidak memiliki harta benda.” (HR. Muslim, no. 1480)
Dan kami berharap semoga interaksi antara kalian berdua bukan
interaksi yang tidak disyari’atkan atau diharamkan baik untuk saat ini
maupun nanti setelah penolakan anda terhadap pinangannya, meskipun menurut
anda dia banyak memiliki keistimewaan terutama yang membimbing dan
mengarahkan anda kepada kebaikan dan ilmu, akan tetapi hal ini bukan berarti
memberikan ruang bagi anda untuk saling bertemu, kirim surat-menyurat dan
berbicang-bincang khusus atau yang semacamnya.
Wallahu A’lam.